Hukum Sholat Dhuha

Hukum Sholat Dhuha

shalat Dhuha,
berdasarkan banyak hadits yang
berkaitan, adalah sunnah. Beberapa
hadits berikut dapat dijadikan
sandaran status hukum shalat
Dhuha :
Abu Hurairah ra. berkata, “Kekasihku
(Rasulullah saw) berwasiat kepadaku
dengan tiga perkara yang tidak akan
aku tinggalkan sampai aku mati;
puasa tiga hari pada setiap bulan
(ayyam al-bidh’), shalat Dhuha, dan
shalat witir sebelum tidur.” (HR
Bukhari).
Hadits diatas menyebutkan bahwa
salah satu diantara tiga amalan
sunnah yang diwasiatkan Rasulullah
saw. kepada umatnya, melalui tuturan
kata-kata Abu Hurairah, adalah
amalan shalat Dhuha. Dalam hal ini,
seruan Rasulullah kepada sahabatnya
untuk melaksanakan shalat Dhuha
adalah seruan untuk melakukan
sebuah amalan sunnah. Sebab,
dalam hadits tersebut tidak
ditemukan adanya perkataan atau
pernyataan yang menekankan atau
menyebutkan isyarat wajibnya amalan
shalat Dhuha. Dalam kaidah-kaidah
ilmu Ushul Fiqh – yakni aturan-
aturan dasar metodologis dalam
menetapkan suatu hukum –
disebutkan bahwa jika ungkapan
perintah atau kalimat berita yang
mengandung makna perintah tidak
mengandung indikasi wajibnya
pelaksanaan perintah tersebut,
perintah tersebut hanya berstatus
hukum sunnah. Pernyataan Abu
Hurairah bahwa ia tidak akan pernah
lalai mengerjakan shalat Dhuha di
sepanjang hidupnya merupakan
petunjuk tentang pentingnya amalan
sunnah itu, betapa tinggi nilainya
dalam pandangan Rasulullah saw,
sehingga seorang Abu Hurairah pun
merasa tergugah tidak
meninggalkannya hingga akhir hayat.
Tidaklah sulit untuk menengarai
bahwa di mata Abu Hurairah dan para
sahabat Rasulullah yang lainnya,
kedudukan shalat Dhuha seperti ini
tampak hampir setara dengan shalat-
shalat wajib yang lima waktu. Oleh
karena itu, dapat dipahami jika
mereka bertekad untuk tidak
melalaikan sunnah itu sekali waktu
pun, seakan-akan mereka hendak
melaksanakan shalat-shalat yang
status hukum wajibnya telah jelas.
Gambaran tentang kedudukan
istimewa shalat Dhuha ini
seharusnya sudah cukup membuat
kita tersadarkan bahwa informasi
hadits yang diberitakan lewat Abu
Hurairah itu merupakan panggilan
dan anjuran bagi kita untuk mencintai
dan mengamalkan shalat Dhuha.
Panggilan dan anjuran itu tidak
hanya tertuju secara terbatas kepada
para sahabat Rasulullah, tetapi juga
pada kita yang mengakui kebenaran
agama yang dibawa Muhammad saw,
agama Islam. Rasulullah dan para
sahabatnya merupakan teladan bagi
kita sebagai umat muslim.
Hadits berikut ini juga bisa menjadi
rujukan kita dalam menjelaskan lebih
lanjut kedudukan dan status hukum
shalat Dhuha:
Aisyah ra berkata, “Jika Rasulullah
saw. meninggalkan suatu amalan
yang beliau suka mengamalkannya,
hal itu karena beliau khawatir orang-
orang menganggapnya sesuatu yang
diwajibkan. Dan, tidak sekalipun
Rasulullah saw. melaksanakan shalat
sunnah dhuha, kecuali aku pun
melakukannya.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Di sini, kita dapat dengan mudah
menemukan pernyataan yang agak
tegas mengenai status hukum shalat
Dhuha. Ketika Rasulullah pada suatu
waktu sengaja meninggalkan suatu
amalan yang beliau cintai dan selalu
dilaksanakannnya karena khawatir
amalan itu dipandang umatnya
sebagai amalan wajib, jelaslah bahwa
amalan itu bukanlah amalan wajib.
Penisbatan istilah “sunnah” oleh
Aisyah pada shalat Dhuha
menunjukkan bahwa shalat Dhuha
jelas merupakan amalan sunnah
biasa.
Namun demikian, keterangan hukum
shalat Dhuha seperti ini sama sekali
tidak menyiratkan pengertian bahwa
shalat itu hanya memiliki nilai yang
kurang penting dalam
perbandingannya dengan amalan
wajib. Sebaliknya, keterangan itu
justru ingin menunjukkan bahwa
shalat Dhuha memiliki nilai yang
sangat tinggi.
Dalam hadist di atas, shalat Dhuha
dinyatakan secara tidak langsung
sebagai sebuah amalan sunnah
Rasulullah diantaraamalan-amalan
sunnah lainnya yang tidak pernah
beliau lalaikan. Di sinilah kita bisa
melihat tingginya kedudukan shalat
Dhuha, sampai-sampai Rasulullah
hampir tidak pernahkan
meninggalkannya, sekalipun shalat
Dhuha itu hanya berstatus hukum
sunnah. Kita bisa membayangkan
sikap Rasulullah terhadap shalat
Dhuha, seandainya Allah SWT
mensyariatkannya sebagai amalan
wajib.
Lebih jauh, pengakuan Aisyah ra.
bahwa ia juga melakukan shalat
sunnah Dhuha kapan saja Rasulullah
melakukannya turut memperkuat
kedudukan utama shalat sunnah
tersebut. Pengakuan Aisyah dalam
hadits itu mengandung pengertian
bahwa jika Rasullah tidak pernah
melalaikan shalat sunnah Dhuha,
demikian juga halnya Siti Aisyah.
Dengan demikian, keterangan Aisyah
tentang shalat Dhuha ini turut
memperkuat keterangan hadits Abu
Hurairah sebelumnya.
Dalam Hadits lain yang senada juga
dikabarkan bagaimana Aisyah ra.
meneladani ketekunan Rasulullah
saw. dalam melakukan shalat Dhuha.
Aisyah ra, berkata, “Setiap kali aku
melihat Rasulullah saw.
melaksanakan shalat Dhuha, aku pun
pasti melaksanakannya.” (HR
Bukhari)
Hadits-hadits mengenai shalat
Dhuha yang dikemukakan di atas
tidak sekadar menunjukkan status
hukum shalat Dhuha sebagai amalan
sunnah, melainkan juga mengabarkan
bagaimana para sahabat
menunjukkan kecintaan mereka
terhadap amalan sunnah itu.
Pengamalan shalat sunnah Dhuha
tidak hanya menjadi kesenangan
Rasulullah saw, tetapi juga menjadi
kesenangan para sahabat dan orang-
orang tercintanya.
Status hukum shalat Dhuha memang
hanya sebagai amalan sunnah.
Namun, hal itu hendaknya tidak
dimengerti bahwa ia hanya amalan
sunnah yang tidak wajib
dilaksanakan, melainkan ia adalah
amalan shalat sunnah yang
kedudukannya mendekati kedudukan
amalan shalat wajib. Dengan kata
lain, shalat dhuha adalah shalat
sunnah yang istimewa sehingga kita
dianjurkan untuk tidak melalaikannya
sebagaimana kita diwajibkan untuk
tidak melalaikan pelaksanakan
shalat-shalat wajib.
Lalu, di mana letak keistimewaan
shalat Dhuha sehingga Rasulullah
dan para sahabatnya sangat senang
mengerjakannya? Setiap ritual
keagamaan (amalan) dalam Syariat
Islam tidak pernah lepas dari hikmah
yang terkandung di dalamnya.
Namun, tersingkapnya hikmah suatu
amalan akan bergantung pada
kemampuan manusia itu sendiri. Bisa
jadi hikmah suatu amalan itu
beragam karena kemampuan kita
dalam menyingkap hikmah yang
terdapat dalam amalan tersebut tidak
sama. Ada sebagian hikmah yang
barangkali mudah untuk dimengerti
bahkan oleh pola pikir masyarakat
awam secara umum. Namun, ada
juga hikmah rahasia yang hanya
dirasakan oleh pribadi secara
khusus, yang pengungkapannya
berbeda antara satu pribadi dengan
pribadi lainnya.
sumber : The Power of Shalat Dhuha

Artikel Syaikh Abdul Qodir Jaelani Lainnya :